Rubrik Hukum

Pertanggungjawaban Hukum Dalam Pengambilan Keputusan Diskresi

Pada prinsipnya tanggung jawab seorang Pejabat Bea dan Cukai atas keputusan yang dibuatnya adalah tanggung gugat jabatan secara administrasi. Namun hal tersebut dapat berubah menjadi tanggung jawab pribadi dengan beberapa alasan. Untuk itu perlu dipahami secara mendalam mengenai syarat-syarat dalam pengambilan keputusan. Salah satu bentuk keputusan pejabat dalam menyelenggarakan pemerintahan adalah diskresi.

Diskresi Pejabat Pemerintahan bertujuan untuk: (a) melancarkan penyelenggaraan pemerintahan; (b) mengisi kekosongan hukum; (c) memberikan kepastian hukum; dan (d) mengatasi stagnasi pemerintahan dalam keadaan tertentu guna kemanfaatan dan kepentingan umum.

Diskresi dapat diberikan apabila: (a) ketentuan peraturan perundang-undangan memberikan suatu pilihan keputusan dan/atau tindakan, (b) ketentuan perundang- undangan tidak mengatur, (c) peraturan perundang-undangan tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau (d) adanya stagnasi pemerintahan guna kepentingan yang lebih luas.

Adapun syarat dikeluarkan diskresi adalah keputusan tersebut sesuai dengan tujuan diskresi, tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, sesuai dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB), tidak menimbulkan konflik kepentingan, dan dilakukan dengan itikad baik.

Setiap keputusan dari pejabat Tata Usaha Negara (TUN) memiliki resiko untuk dinyatakan sah, batal demi hukum, dan dibatalkan oleh pengadilan. Keputusan dianggap sah oleh pengadilan apabila keputusan diterbitkan oleh pejabat yang berwenang dan prosedur serta substansi sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan AAUPB.

Keputusan dianggap batal demi hukum apabila pejabat yang menerbitkan tidak memiliki wewenang berdasarkan ketentuan yang berlaku serta bertentangan dengan AAUPB. Akibat dari keputusan yang batal demi hukum adalah keputusan dianggap tidak pernah ada dan segala kerugian yang timbul saat keputusan belum dibatalkan menjadi tanggung jawab ASN.

Keputusan dari pejabat TUN akan dibatalkan oleh pengadilan apabila memiliki cacat prosedur dan/atau substansi. Keputusan tersebut akan dianggap sah sampai dibatalkan. Keputusan yang dibatalkan tidak memiliki kekuatan hukum sejak dibatalkan sehingga segala kerugian yang timbul saat keputusan belum dibatalkan tidak menjadi tanggung jawab ASN.

Keputusan TUN juga dapat dinyatakan maladministrasi apabila diketahui adanya perbuatan melawan hukum, melampaui wewenang, menggunakan wewenang untuk tujuan lain, dan lalai atau abai dalam pelayanan publik. Karakter utama dari pemeriksaan maladministrasi adalah perilaku dari pejabat yang telah mengabil suatu keputusan. Apabila maladministrasi terbukti maka putusan ini dapat ditindaklanjuti dengan penyelidikan atau penyelidikan adanya dugaan tindak pidana oleh aparat penegak hukum. Dalam hal maladministrasi yang ditemukan adalah terkait dengan kerugian negara, maka hal tersebut sangat berpotensi menjadi dugaan tindak pidana korupsi

Ada tips mudah dalam pengambilan keputusan yaitu dengan menggunakan metode IFLACA. IFLACA sendiri adalah: (1) Issue yaitu mengumpulkan masalah lalu memisahkan antara masalah hukum dan masalah bukan hukum; (2) facts yaitu mengumpulkan fakta lalu memilahnya kembali antara fakta hukum dan fakta bukan hukum; (3) laws yaitu apa saja ketentuan yang berlaku terkait masalah dan fakta yang telah dikumpulkan; (4) Analysis yaitu merangkai issue, facts, dan laws ke dalam sebuah kajian; (5) Conclution yaitu memberikan keputusan berdasarkan analisa yang dilakukan; dan (6) Advice yaitu memberikan saran untuk menguatkan keputusan yang telah diberikan

Adapun tips lain dalam pengambilan keputusan adalah 5 (lima) Aman. Lima aman terdiri dari: (1) Aman kewenangan yaitu pejabat yang bersangkutan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan memiliki wewenang dalam pengambilan keputusan; (2) Aman prodesur yaitu tahapan sebelum dikeluarkannya keputusan sudah sesuai dengan ketentuan yang berlaku; (3) Aman dokumentasi yaitu mendokumentasikan setiap surat yang dibuat mengingat bahwa setiap surat memiliki potensi resiko masing- masing; (4) Aman arsip yaitu sebagai pegangan dalam hal terjadi hal di luar kehendak di kemudian hari. Pengarsipan berfungsi sebagai barang bukti untuk menguatkan; dan yang terakhir adalah (5) Aman penghasilan dari gratifikasi dan suap yaitu untuk selalu menghindari setiap tindakan yang terindikasi sebagai gratifikasi dan suap.

Penerapan asas Ultimum Remedium dalam Undang-Undang Nomor 21 tahun 2021 Tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan

Pada tanggal 29 Oktober 2021 telah diundangkan Undang-Undang nomor 21 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang mengatur tentang penegakan hukum pidana pajak dengan mengedepankan asas ultimum remedium melalui pemberian kesempatan kepada Wajib Pajak untuk mengganti kerugian pada pendapatan negara ditambah sanksi denda meskipun kasus pidana perpajakan tersebut sudah dalam proses penuntutan di sidang pengadilan.

Dalam UU HPP juga menegaskan bahwa penegakan hukum Pidana Cukai mengedepankan prinsip ultimum remedium bagi pelanggaran dan/atau tindak pidana di bidang cukai, di mana pelanggaran tertentu tidak dilakukan penyidikan apabila membayar sanksi 3 (tiga) kali nilai cukai yang seharusnya dibayar, dan apabila telah dilakukan penyidikan tindak pidana di bidang cukai, maka proses penyidikan dapat dihentikan apabila tersangka melunasi 4 (empat) kali nilai cukai uang masih harus dibayar.

Ultimum remedium berarti pemidanaan dilakukan sebagai upaya yang terakhir dalam penegakan hukum, apabila pemberian sanksi administrasi gagal untuk menimbulkan efek jera.  Pada UU HHP, asas ultimum remedium dapat dilihat pada Pasal 44B UU HHP. Pada pasal tersebut dijelaskan bahwa sebagai upaya penyelamatan penerimaan negara, penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan dapat dihentingkan, sepanjang perkara pidana tersebut belum dilimpahkan ke pengadilan. Penyidikan dihentikan setelah Wajib Pajak melunasi utang pajak serta sanksi denda 3x jumlah pajak yang tidak/kurang dibayar.

Tujuan utama pemidanaan pajak adalah mengembalikan kerugian pendapatan negara akibat suatu tindak pidana. Atas dasar tersebut, Wajib Pajak kini diberikan kesempatan hingga tahap persidangan untuk mengembalikan kerugian pada pendapatan negara. Pada Pasal 44B UU HPP ditegaskan bahwa jika perkara telah dilimpahkan ke pengadilan, terdakwa masih dapat melunasi pokok pajak beserta sanksi, dan menjadi pertimbangan untuk dituntut tanpa disertai penjatuhan pidana penjara.  Pada UU HPP, sanksi Pasal 44B dibuat berlapis sesuai dengan ancaman pidana di Pasal 38, Pasal 39, dan Pasal 39A.